Ironi Bojakan - Hidup Dibawah Bayangan Taman Nasional
Ironi Bojakan- Hidup Dibawah Bayangan Taman Nasional
Masyarakat Bojakan melakukan dialog bersama Taman Nasional Siberut tanggal 29 Oktober 2025.
Foto oleh Yohanes Irman.
Di sebuah pulau yang jauh dari hiruk pikuk kota, berdiri sebuah Desa bernama Bojakan. Desa kecil yang dikelilingi oleh hutan, sungai dan bukit - lanskap yang bagi masyarakatnya bukan sekadar bentangan alam, melainkan sumber kehidupan dan identitas. Di sanalah Masyarakat hidup turun-temurun, Bertani, mencari ikan di sungai, mengambil kayu untuk sampan dan rumah di hutan, mengambil rotan dan menjaga keseimbangan dengan alam sebagaimana leluhur mereka ajarkan - mereka mengambil dari hutan sesuai kebutuhan. Namun, harmoni itu perlahan pudar Ketika garis batas Bernama Taman Nasional Siberut membayangi kehidupan mereka.
Ironinya, Bojakan kini hidup di antara dua wajah kebijakan. Di satu sisi, Masyarakat diingatkan untuk menjaga hutan dengan alasan konservasi; di sisi lain, mereka justru dilarang menghidupi diri di tanah yang telah mereka rawat selama puluhan tahun. Bahkan, Ketika mereka mencoba berbenah - usulan jalan penghubung desa, usulan pembangunan perumahan Masyarakat, usulan pembukaan sawah baru, bahkan Pembangunan MCK atau membuat fasilitas sederhana - semua ditolak pemerintah hanya karena satu alasan: "KAWASAN TAMAN NASIONAL.”
Pembangunan di Bojakan seolah selalu berakhir di jalan buntu. Pernah ada rencana menghadirkan Listrik dari tenaga air - memanfaatkan air terjun yang mengalir tak jauh dari dusun. Tim teknis sudah turun, Masyarakat bersedia memberi lahan, bahkan surat hibah telah ditandatangani Masyarakat. Namun, proyek itu berhenti begitu saja, terkubur oleh alasan klasik: wilayah Taman Nasional. Hal serupa terulang pada program Tenaga Surya Terpusat. Petugas PLN datang, melakukan pengukuran, semua warga mendukung. Tapi hasilnya tetap sama - rencana tinggal rencana. Program Pembangunan rumah pun sempat menggugah harapan. Lokasi sudah diukur, administrasi rampung, Masyarakat patuh pada semua prosedur. Namun pada akhirnya, Keputusan tetap tak berpihak: tidak bisa dilanjutkan karena berada dalam Kawasan Taman Nasional.
Begitulah Bojakan hidup - selalu siap menyambut Pembangunan, namun selalu terhenti di pagar aturan yang tak pernah memberi ruang bagi kenyataan di lapangan.
Antara Patok dan Kebijakan yang membingungkan.
Masalah utama yang menghantui Bojakan bukan hanya soal batas hutan, melainkan batas logika kebijakan. Pihak Taman Nasional Siberut menyatakan bahwa pemukiman Bojakan berada di luar Kawasan Taman Nasional, namun ketika masyarakat mengajukan Pembangunan atau bantuan, pemerintah menulaknya dengan alasan “masuk dalam Kawasan Taman Nasional.”
Masyarakat Bojakan melihat ini sebagai “kebijakan yang saling membenturkan.”
Masyarakat seolah dijebak dalam ruang abu-abu: tidak diakui sebagai bagian dari Taman Nasional, tetapi juga tidak diberikan hak Pembangunan karena diklaim Kawasan konservasi. Ini bukan sekedar persoalan administratif, melainkan bentuk ketidak adilan struktural yang membuat Masyarakat kehilangan arah dan harapan.
Konservasi yang melupakan Manusia.
Kebijakan Konservasi yang tidak berakar pada keadilan sosial akan selalu menimbulkan konflik. Ketika manusia dijauhkan dari alamnya sendiri, Konservasi kehilangan ruh. Sebab, Hutan tanpa manusia yang mencintainya hanyalah ruang sunyi yang menunggu giliran untuk dijarah oleh kepentingan besar.
Bojakan tidak menolak konservasi. Mereka menolak ketidak adilan yang dikemas dengan nama konservasi. Mereka ingin menjadi bagian dari Solusi - menjaga hutan, tapi juga hidup dengan layak dari tanah yang mereka rawat sejak nenek moyang.
Kepala SPTN Wilayah II Ridho Akbar EPM, S.Hut, M.Si (kanan) dan Kepala Desa Bojakan (kiri) dalam dialog.
Foto: Yohanes Irman.
Belajar dari Kolaborasi: Konservasi yang tidak melupakan Manusia
Di beberapa wilayah Indonesia, kisahnya berbeda. Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Jawa Barat), Masyarakat sekitar dilibatkan dalam ekowisata berasis hutan: menjadi pemandu, pengelola homestay, hingga penjaga jalur wisata. Pendapatan meningkat, konservasi berjalan.
Sementara di Taman Nasional Lore Lindu (Sulawesi Tengah), program kemitraan konservasi membuat Masyarakat dapat mengelola madu, rotan, dan kopi hutan - hasil non-kayu yang Lestari.
Model seperti ini bisa diterapkan di Bojakan. Desa yang punya potensi besar: hutan tropis, sungai jernih, budaya yang masih terjaga, dan Masyarakat yang terbukti menjaga alamnya dengan bijak.
Jika Taman Nasional mau membuka ruang kolaborasi, Masyarakat Bojakan bukan musuh konservasi - mereka penjaga hutan paling sejati.
Proses Menuju Dialog: Dari Kegelisahan Menjadi Suara Bersama
Berawal dari berbagai kegelisahan Masyarakat terhadap kebijakan dan sikap Taman Nasional Siberut, saya merasa perlu membantu agar aspirasi mereka bisa didengar secara langsung. Bersama Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bojakan, kami mengajak Masyarakat berdiskusi dan menyepakati sejumlah poin penting yang akan menjadi tuntutan resmi Masyarakat kepada pihak taman nasional.
Setelah seluruhnya dirumuskan dan disetujui bersama, Pemerintah Desa Bojakan mengirimkan surat resmi kepada Kepala Balai Taman Nasional Siberut berisi permohonan dialog langsung dengan Masyarakat. Surat tersebut ditandatangani oleh Kepala Desa Bojakan pada tanggal 20 Oktober 2025, dan ditembuskan kepada Camat Siberut Utara sebagai laporan dan koordinasi.
Menanggapi surat tersebut, pihak Balai Taman Nasional Siberut menyatakan kesediaannya untuk hadir dalam dialog terbuka bersama Masyarakat. Akhirnya, pada 29 Oktober 2025, pertemuan tersebut terlaksana di Desa Bojakan.
Dalam pertemuan itu, Taman Nasional Siberut diwakili oleh Kepala SPTN Wilayah II, Ridho Akbar EPM, S.Hut, M.Si., sementara dari pihak kepolisian, hadir perwakilan dari Polsek Sikabaluan untuk memastikan kegiatan berjalan aman dan tertib.
Dialog dibuka secara resmi oleh Kepala Desa Bojakan, yang dalam sambutannya menyampaikan ucapan selamat datang kepada pihak Taman Nasional dan menghimbau seluruh Masyarakat agar menjaga suasana dialog tetap kondusif dan berimbang.
Pihak Taman Nasional kemudian memberikan sambutan balasan yang pada intinya menyatakan bahwa mereka terbuka terhadap komunikasi dan dialog dengan Masyarakat.
Setelah sesi pembukaan, saya sendiri diberi kesempatan untuk membacakan seluruh tuntutan Masyarakat Desa Bojakan kepada pihak Taman Nasional Siberut - sebuah momen penting yang menandai Langkah awal Masyarakat dalam menyuarakan hak dan harapan secara langsung.
Yohanes Irman – Direktur BUMDes TIRIK OINAN membacakan tuntutan resmi masyarakat Bojakan di hadapan perwakilan Taman Nasional.
Foto: Yohanes Irman.
Suara dari Bojakan: Hutan Kami, Rumah Kami
HUTAN KAMI, RUMAH KAMI
Yang kami hormati, Pihak Balai Taman Nasional Siberut yang hadir. Dan seluruh pihak yang kami anggap bertanggung jawab atas kebijakan pengelolaan Kawasan konservasi di tanah kami, Desa Bojakan.
Kami mengundang Pihak Balai Taman Nasional Siberut untuk hadir di Desa Kami bukan untuk melawan hukum. kami ingin menegakkan keadilan yang sudah dijamin negara ini, namun salami ini tidak dirasakan oleh kami - masyarakat Bojakan yang lahir dan hidup di dalam Kawasan hutan itu sendiri.
Kami ingin menyampaikan satu hal sederhana namun tegas: Hutan yang kami rawat turun-temurun bukan milik siapapun, tapi bagian dari hidup kami sendiri.
Bapak-ibu yang terhormat, Negara ini mengakui kami: Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menegaskan: “Penguasaan Hutan Oleh Negara Tetap Memperhatikan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat.” Dan Pasal 68 Undang-undang yang sama menegaskan kewajiban kami: “Masyarakat berkewajiban ikut menjaga dan melestarikan hutan.” Kami sudah melakukannya, bahkan sebelum negara ini berdiri. Tapi mengapa, Ketika negara hadir melalui Taman Nasional, Kami justru merasa peran kami terhadap hutan kami perlahan menghilang? tentu Hal ini menjadi ketakutan bagi kami, kelak kami akan sepenuhnya kehilangan ruang hidup kami sendiri. Kami tidak menolak negara serta kehadiran Taman Nasional dengan Konservasi atau sebagainya! Tapi kami menolak segala bentuk Keserakahan dan Hasrat menguasai yang mengatas namakan Negara di hutan nenek moyang kami. Kami juga tidak ingin manusia yang menjaga hutan justru perlahan dilenyapkan dari tempat hidupnya. Selama bertahun-tahun, Masyarakat Bojakan telah menahan diri - tidak membuka lahan sembarangan, tidak menebang liar, tidak merusak sungai. Tapi ketika program besar Negara Bernama Taman Nasional hadir, peran serta ruang Gerak kami mulai terbatas, bahkan beberapa program Pemerintah sulit untuk kami Peroleh. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar bagi kami. Apakah ini bentuk penghormatan Negara kepada Masyarakat yang menjaga hutannya? Atau begitu berhargakah satwa endemik, sehingga negara mengabaikan kebutuhan Manusia? Kami menilai ini kekejaman yang luar biasa, negara membiarkan kami terisolasi dengan dalih konservasi.
Bapak-Ibu yang terhormat,
Hari ini kami menyampaikan tuntutan, yang seluruhnya berakar dari penderitaan dan realita dilapangan, bukan karangan diatas meja. Intinya satu: Pengakuan dan Perlindungan atas hak hidup Masyarakat didalam Kawasan hutan taman nasional. Dengan ini kami menuntut: Pengakuan dan Pemutihan Seluruh Kawasan Pemukiman Masyarakat serta kemungkinan pembukaan Kawasan pemukiman baru dan lahan pemanfaatan hutan oleh Masyarakat Bojakan seperti Pertanian dan Perkebunan di waktu mendatang; Peninjauan dan Penyesuaian Kembali Tata Batas Kawasan Taman Nasional serta Proses Peninjauan dilakukan Secara Transparan, Partisipatif dan berbasis data lapangan dengan melibatkan Pemerintah Desa, Tokoh Adat dan Masyarakat Bojakan. Pemberian Hak atas Pembangunan Dasar seperti Pembangunan Jalan, Listrik, Perumahan, Pendidikan dan Ekonomi Ramah Lingkungan. Kemitraan Sejajar antara Masyarakat dan pihak Taman Nasional (bukan hubungan atas-bawah, melainkan kerja sama yang saling menghormati dan saling menjaga). Melibatkan Lembaga Adat, Masyarakat dan Lembaga Desa dalam setiap kegiatan, perencanaan, dan program yang berlangsung didalam Kawasan Taman Nasional. Taman Nasional dapat memastikan setiap program yang berlangsung bersifat berkelanjutan dan mempunyai dampak positif bagi Masyarakat. Pemindahan Gedung Resort Bojakan ke Wilayah Dusun Bojakan atau Pembangunan Gedung Resort Bojakan yang baru di wilayah Bojakan sehingga fungsi pengawasan, koordinasi, dan pelayanan Masyarakat dapat berjalan sesuai nama dan tanggung jawab wilayahnya. Pemberian Akses Kelola Kemitraan Konservasi untuk penghidupan berkelanjutan. Jaminan tidak adanya Tindakan Represif terhadap aktivitas Masyarakat adat Bojakan. Memastikan Masyarakat Bojakan memiliki pemahaman yang kuat tentang konservasi melalui penyediaan Literatur, Edukasi, dan kegiatan Sosialisasi Secara berkelanjutan. Program Pemberdayaan Berbasis Potensi Lokal yang berkelanjutan seperti: Agroforestri, ekowisata dan kegiatan ekonomi ramah lingkungan lainnya.
Bapak-Ibu yang terhormat,
Semua tuntutan kami berdasarkan hukum - Baik Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi, maupun Peraturan Menteri LHK tentang Kemitraan Konservasi, serta Pasal 2 Ayat (3), Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang juga kami anggap masih relevan dengan tuntutan kami. Kami Bukan Ancaman Bagi Hutan. Kami adalah Penjaga hutan yang Sejati.
Maka hari ini, dihadapan Bapak/Ibu yang terhormat,
Kami nyatakan dengan lantang: Kami tidak minta belas kasihan, Kami minta keadilan. Kami tidak minta izin untuk hidup, kami hanya menuntut hak yang dijamin oleh konsitusi negara ini!!
Sebagai Penutup Kami kami ingin menyampaikan bahwa: KAMI SIAP BERMITRA, KAMI SIAP MENJAGA, KAMI SIAP BERKOLABORASI. Tapi jangan lagi ada kebijakan yang menutup mata terhadap penderitaan rakyat didalam hutan. Hutan ini hudup karena kami. Dan selama Bojakan Masih Ada, Selama anak-anak kami masih bernafas dibumi ini, Kami akan berdiri menjaga hutan ini. Karena HUTAN KAMI, RUMAH KAMI.
Hormat Kami,
Masyarakat Bojakan.
Foto oleh: Yohanes Irman
Foto oleh: Yohanes Irman
Selain tuntutan resmi Masyarakat yang saya bacakan, Pak Sudirman Amon, tokoh Masyarakat, juga menyampaikan kekecewaanya kepada Taman Nasional: “kami tidak pernah menolak hutan dijaga, tapi kenapa patok batas dipasang tanpa pemberitahuan? Kenapa semua usulan kami selalu ditolak? Jangan Pembangunan dalam skala besar, bahkan untuk membangun WC saja sulit dapat izin. Hal ini seolah-olah menggambarkan kami bukan warga negara di tanah kami sendiri.”
Pak Martinus, Ketua Pemuda Bojakan, menyoroti masalah keterbukaan: “kami ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Taman Nasional di hutan kami. Tidak ada sosialisasi, tidak ada laporan kegiatan. Kami hanya tahu dari kabar burung kalau ada proyek atau penelitian. Kalau memang untuk konservasi, kenapa tidak melibatkan kami?”
Begitu juga dengan Pak Sandro Sapotuk, Salah seorang guru SD di Bojakan, memberikan pandangannya dari sudut Pendidikan dan keadilan: “anak-anak kami tumbuh tanpa tahu bahwa tempat tinggal mereka disebut Kawasan Taman Nasional. Orang Taman Nasional datang sesekali, tapi tidak pernah mendekat. Kalau begitu, bagaimana kami bisa merasa dilibatkan? Berkaitan dengan Gedung resort Bojakan yang dibangun disotboyak, kami minta agar dipindahkan ke Bojakan. Kalau memang Gedung resort itu tidak bisa dipindahkan ke Bojakan, maka harus dibangun satu lagi disini. Supaya kami juga bisa melihat, merasakan dan ikut menjaga hutan yang disebut-sebut Kawasan Kawasan Taman Nasional itu. Tapi kalau Pembangunan resort di Bojakan pun tidak bisa dilakukan, maka sebaiknya hentikan dulu semua kegiatan Taman Nasional di Hutan Kami.”
Saya sendiri juga menambahkan beberapa catatan penting terkait dengan ekonomi Masyarakat Bojakan: “ekonomi Bojakan makin sulit. Dan kami masayarakat Bojakan sangat terbuka untuk kolaborasi dengan taman nasional di bidang ekowisata, agroforestri, dan kegiatan ekonomi ramah lingkungan lainnya yang kita semua tahu bahwa potensi ini sangat mudah ditemukan di Bojakan. Harapan kami, usulan kolaborasi ini dapat ditemukan dengan baik, karena kami percaya hal semacam ini akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak.” Saya juga menambahkan bahwa “Konservasi tanpa keadilan sosial hanyalah bentuk baru dari pengabaian.”
Suara ini bukan sekedar keluhan. Ini Adalah potret nyata dari ketimpangan antara kebijakan di atas kertas dan kenyataan dilapangan.
Foto oleh: Yohanes Irman
Tanggapan Dari Pihak Taman Nasional Siberut
Setelah pembacaan tuntutan resmi dan beberapa pandangan dari Masyarakat Bojakan dalam dialog tersebut, pewakilan Taman Nasional Siberut, yaitu Kepala SPTN Wilayah II, Ridho Akbar EPM, S.Hut, M.Si., memberikan penjelasan dan tanggapan terhadap tuntutan Masyarakat. Ia menyampaikan bahwa secara administrasi Desa Bojakan berada di luar Kawasan Taman Nasional, tepatnya di area hutan produksi, sehingga kewenangan pengelolaan di wilayah tersebut bukan sepenuhnya berada da bawah Taman Nasional Siberut.
Namun, ia juga mengakui bahwa ada Sebagian pemukiman Masyarakat yang masuk dalam Kawasan Taman Nasional, dan area tersebut telah ditetapkan sebagai zona khusus - zona yang diatur untuk memenuhi hajat hidup Masyarakat, termasuk untuk sarana Pendidikan, perumahan, Kesehatan dan rumah ibadah.
Lebih lanjut, Ridho Akbar menegaskan bahwa konservasi bukan berarti larangan total, melainkan upaya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
“Dalam Konservasi, bapak ibu sekalian Adalah subjek, bukan objek. Kami tidak ingin melarang, tapi mengajak bersama,” ujarnya di hadapan peserta dialog.
Terkait pengembangan ekonomi Masyarakat, ia menyebutkan bahwa Taman Nasional pada dasarnya terbuka untuk bermitra dengan Masyarakat, namun diakui bahwa keterbatasan anggaran dan kebutuhan riset pasar masih menjadi tantangan utama.
“kalau untuk ekowisata, kita perlu meneliti dulu Lokasi-lokasi yang potensial, misalnya area pengamatan primate,” tambahnya.
Ridho Akbar juga menegaskan bahwa perburuan satwa liar secara massif tetap dilarang, namun kegiatan berburu untuk keperluan adat dan budaya tetap diperbolehkan selama sesuai aturan. Adapun permintaan Masyarakat terkait pemutihan Kawasan, ia menjelaskan bahwa proses tersebut tidak mudah karena harus melalui mekanisme hingga Tingkat DPR RI.
Untuk pemberian akses Pembangunan fasilitas Masyarakat, Ridho Akbar menyarankan agar hal tersebut dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah atau Dinas terkait, mengingat tidak semua hal menjadi kewenangan Taman Nasional.
Sementara mengenai Gedung resort Taman Nasional yang berda diwilayah Desa Sotboyak, Ridho Akbar menyampaikan komitmennya untuk menunda sementara semua kegiatan sampai ada Keputusan resmi lebih lanjut terkait permintaan Masyarakat.
Namun, dari seluruh penjelasan pihak Taman Nasional Siberut, Masyarakat Bojakan merasa belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Berbagai tuntutan yang membutuhkan tindakan nyata - mulai dari penetapan batas wilayah, akses Pembangunan, hingga Langkah kongkret kolaborasi ekonomi - tidak satupun dijawab secara langsung. Masyarakat menilai bahwa tanggapan yang diberikan masih sebatas penjelasan administratif, belum menyentuh inti persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.
Bagi warga Bojakan, dialog hari itu penting sebagai awal dari keterbukaan, tetapi belum cukup sebagai jawaban atas persoalan yang telah mereka rasakan selama bertahun-tahun.
Foto oleh: Yohanes Irman
Sebuah Cermin Untuk Negeri
Bojakan hanyalah satu titik kecil di peta Indonesia. Tapi kisahnya mencerminkan kontradiksi nasional antara konsevasi dan kemuasiaan.
Jika Negara gagal mendengar Bojakan, maka negara juga sedang kehilangan arah terhadap makna sejati dari konservasi itu sendiri.
Bojakan bukan ancaman bagi hutan - bojakan Adalah pelindungnya.
Yang dibutuhkan hanyalah keberanian semua pihak untuk melihat bahwa konservasi tanpa manusia hanyalah kesunyian yang dikelola oleh kebijakan.

Komentar
Posting Komentar