Potret Pendidikan di Bojakan: Mimpi yang Sering Terhenti di Tengah Jalan
Bojakan, sebuah desa kecil yang jauh dari pusat kecamatan, menyimpan cerita panjang tentang bagaimana beratnya perjuangan anak-anak untuk mendapatkan pendidikan. Di atas kertas, sistem pendidikan di sini berjalan: ada PAUD, ada SD, dan anak-anak bisa melanjutkan ke SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Namun di balik itu, kenyataan yang dialami masyarakat menunjukkan bahwa mimpi pendidikan di Bojakan sering kali terhenti di tengah jalan.
PAUD: Antara Ladang dan Masa Depan Anak
PAUD di Bojakan dikelola langsung oleh pemerintah desa. Dari sisi regulasi dan tenaga pengajar, sebenarnya cukup baik: tersedia dua orang guru yang siap mendidik anak-anak. Namun kendala justru datang dari orang tua. Sebagian orang tua merasa sulit untuk memasukkan anak ke PAUD karena harus menunggu mereka di sekolah, sementara ladang sebagai sumber penghidupan berada jauh dari pemukiman. Akhirnya, banyak anak usia dini yang tidak mendapat kesempatan pendidikan awal yang cukup, hanya karena benturan kebutuhan ekonomi keluarga dengan masa depan anak.
SD: Gratis tapi Tidak Tuntas
Sekolah Dasar Negeri 15 Bojakan memiliki jumlah guru yang memadai. Secara formal, anak-anak bisa bersekolah gratis karena statusnya negeri. Namun kenyataannya masih ada anak yang putus sekolah. Alasannya sederhana tapi sangat mendasar: seragam, sepatu, buku, dan perlengkapan sekolah lain tidak bisa terpenuhi. Tekanan ekonomi membuat orang tua kurang peduli pada pendidikan anak, sementara anak-anak sendiri kehilangan semangat ketika fasilitas dasar pun tak ada. Akhirnya, meski SD seharusnya menjadi pijakan awal, tidak semua anak bisa melewati jenjang ini dengan baik.
SMP dan SMA: Perjuangan yang Melelahkan
Ketika anak-anak lulus SD, tantangan jauh lebih berat menanti. Di Bojakan, tidak ada SMP maupun SMA. Anak-anak harus menempuh perjalanan sekitar lima jam dengan pompong ke Sikabaluan, pusat kecamatan Siberut Utara. Biaya transportasinya pun tidak murah: 20 liter bensin dengan harga Rp15.000 per liter untuk sekali pulang-pergi.
Tidak hanya itu, orang tua juga harus menyiapkan pondok sederhana di Sikabaluan dan secara rutin mengirimkan bekal setiap minggu. Di sisi lain, jarak dari pemondokan ke sekolah sekitar 30 menit berjalan kaki setiap hari. Kondisi ini membuat sebagian anak kehilangan semangat, terlebih ketika kiriman bekal dari orang tua terlambat karena kesulitan ekonomi. Tidak jarang, anak-anak terjebak dalam perilaku menyimpang: merokok, bekerja sebagai buruh untuk bertahan hidup, bahkan mencuri karena terdesak kebutuhan. Akhirnya, banyak yang memilih berhenti sekolah dan kembali ke desa.
foto: Emanuel Andes (salah seorang anak Bojakan yang berkesempatan sekolah SMA Jawa Tengah). Sumber kiriman WA Andes.
Perguruan Tinggi: Mimpi yang Hampir Mustahil
Hanya sedikit anak Bojakan yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Hambatannya jelas: biaya besar untuk merantau ke kota, sementara kuota beasiswa sangat terbatas. Dari rata-rata sepuluh anak yang tamat SMA setiap tahun, hanya satu atau dua yang bisa kuliah. Itu pun biasanya anak dari keluarga PNS atau pejabat, atau mereka yang beruntung mendapat beasiswa. Hampir mustahil bagi anak dari keluarga petani biasa untuk kuliah dengan biaya pribadi. Bahkan dalam beberapa tahun, tidak ada satu pun anak Bojakan yang berhasil melanjutkan pendidikan tinggi.
Menutup Jalan atau Membuka Harapan?
Potret ini menunjukkan bahwa pendidikan di Bojakan tidak hanya persoalan fasilitas atau jumlah guru, melainkan soal akses, biaya, dan perhatian orang tua. Selama ekonomi keluarga masih tertekan, mimpi pendidikan anak-anak akan selalu terhenti di tengah jalan. Harapannya, pemerintah dapat menghadirkan kebijakan khusus bagi wilayah terpencil seperti Bojakan, mulai dari beasiswa afirmasi, penyediaan asrama, hingga fasilitas transportasi dan pendukung lainnya. Karena jika tidak, Bojakan akan terus menjadi desa yang kehilangan generasi terbaiknya di tengah jalan.
---
Komentar
Posting Komentar