Perjalanan Panjang Menuju Lubaga dan Bai’: Sebuah Cerita dari Pedalaman Bojakan
Perjalanan Panjang Menuju Lubaga dan Bai’: Sebuah Cerita dari Pedalaman Bojakan
Oleh: Yohanes Irman— Bojakan, 18–20 November 2023
Pagi yang Tenang di Bojakan
Pagi itu, 18 November 2023, langit Bojakan tampak cerah. Sinar matahari perlahan menembus pepohonan di tepi sungai, dan angin membawa aroma air pasang yang lembut. Kami bersiap-siap untuk berangkat — saya, sekretaris desa, dan kasi pemerintahan. Dari kecamatan ada enam orang: kasi pemerintahan, staf pencatatan sipil, Pol PP, dan beberapa lainnya. Total sembilan orang, dengan tiga perempuan di antaranya.
Tiga sampan kecil — atau lebih tepatnya pompong — sudah menunggu di tepi sungai. Kami semua tahu, ini bukan perjalanan biasa. Tujuan kami: Dusun Lubaga, salah satu dusun terpencil di wilayah Desa Bojakan. Dari Bojakan ke Sinindiu masih bisa dilalui dengan pompong, tapi setelah itu... perjalanan kaki panjang menanti.
Sekitar pukul delapan pagi kami berangkat. Cuaca bersahabat, dan kondisi air sungai cukup tinggi, jadi perjalanan terasa ringan. Selama di pompong, sesekali kami bercanda, sesekali diam menikmati pemandangan — hutan lebat, tebing-tebing kecil, dan suara burung yang sesekali menyapa dari kejauhan. Tiga jam kemudian, sekitar jam sebelas siang, kami tiba di Sinindiu.
Foto: tim istirahat di sinindiu dan turun dari pompong untuk selanjutnya jalan kaki menuju koccan.Dari Sinindiu ke Koccan: Ujian Kaki dan Napas
Kami istirahat sebentar di Sinindiu, makan siang sederhana sambil menyiapkan barang-barang. Sebagian barang berat dititipkan pada tiga orang tukang angkut yang kami pesan dari Lubaga. Setelah setengah jam istirahat, kami lanjut berjalan kaki menuju Koccan.
Perjalanan ini lumayan menantang — naik turun bukit, melintasi jalan setapak yang kadang licin, kadang berbatu. Beberapa anggota tim baru pertama kali ke sana, jadi langkah kami agak lambat. Sekitar jam tiga sore kami akhirnya sampai di Koccan. Di sana sudah menunggu tiga pompong dari Lubaga. Kami langsung melanjutkan perjalanan melalui sungai, sekitar dua jam lamanya.
Menjelang senja, sekitar pukul setengah enam sore, kami tiba di Lubaga. Disambut dengan senyum dan tawa warga, rasa capek seolah hilang. Ada sesuatu yang selalu mengharukan dari sambutan warga pedalaman — tulus, hangat, dan apa adanya. Kami disuguhi teh hangat dan makanan ringan di rumah warga, sebelum akhirnya memutuskan menginap di rumah dinas postu, karena ukurannya cukup besar untuk menampung rombongan kami.
Malamnya kami makan malam bersama di rumah salah satu warga. Menu utamanya sop ayam kampung, dua ekor sekaligus dipotong untuk kami. Rasanya? Bukan cuma enak — tapi mengharukan. Warga di sini memberi bukan dari kelebihan, tapi dari ketulusan.
Foto: perjalanan dari sinindiu menuju koccanMalam Panjang di Lubaga
Setelah makan malam, kami langsung mulai kegiatan. Tim dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menyiapkan alat perekaman e-KTP, formulir, dan dokumen-dokumen lain. Tim dari desa melakukan sosialisasi pembangunan, validasi data stunting, serta pembahasan tentang kesehatan dan pendidikan.
Suasana malam itu luar biasa — warga ramai berdatangan, penuh semangat. Rasa lelah hilang entah ke mana. Kami bekerja hingga pukul dua dini hari, dan baru setelah evaluasi singkat, semua orang akhirnya beristirahat.
Pagi yang Hangat dan Pisang Rebus
Pagi di Lubaga benar-benar khas pedalaman. Ayam berkokok, ibu-ibu sudah sibuk di dapur, dan anak-anak kecil berlarian di halaman. Kami sarapan dengan suguhan sederhana tapi istimewa: sagu, keladi rebus, dan pisang rebus, ditemani teh dan kopi yang kami buat sendiri. Makanan yang sederhana, tapi terasa begitu nikmat.
Kegiatan hari kedua berlanjut. Tim Capil melanjutkan perekaman, sementara kami dari desa melakukan validasi data stunting dan monitoring kegiatan pembangunan. Kami juga berkeliling kampung, menyapa warga, dan sekaligus berpamitan, karena siang itu kami akan melanjutkan perjalanan ke Dusun Bai’.
Lubaga selalu meninggalkan kesan hangat — masyarakatnya hidup sederhana, tapi jiwa sosialnya luar biasa.
Foto: sosialisasi tentang pembangunan dan kesehatan di dusun LubagaMenuju Dusun Bai’
Setelah makan siang, kami kembali naik pompong menuju Dusun Bai’. Perjalanan hanya sekitar tiga puluh menit. Seperti biasa, sambutan warga Bai’ luar biasa ramah. Kami disambut oleh Pak Beni Icok (anggota BPD) dan Pak Matheus (Kepala Dusun Bai’), yang telah mempersiapkan semuanya. Siang itu, kegiatan kembali berjalan — sosialisasi, validasi stunting, dan pelayanan kependudukan.
Sore hari, kami menyempatkan diri monitoring pembangunan sambil jalan santai keliling dusun. Tanpa kami duga, ternyata Pak Beni dan Pak Matheus sudah memesan satu ekor babi besar — sekitar 60 kilogram — untuk jamuan malam kami. Lagi-lagi, rasa haru itu datang. Mereka memberi dengan ikhlas, tanpa pamrih, dan itu terasa mahal sekali.
Malamnya kami makan bersama, lalu sebagian tim lanjut lembur, yang lain berbincang santai dengan warga. Sekitar jam satu malam kami baru beristirahat — sebagian di rumah Pak Beni, sebagian di rumah Pak Matheus.
Foto: tim ketika bersalaman dengan wargaPagi Terakhir: Bai’ ke Bojakan
Pagi itu udara segar dan tenang. Kami sarapan dengan menu yang hampir sama: sagu, keladi rebus, dan pisang rebus. Tapi kali ini rasanya lebih dalam. Ada rasa syukur, haru, dan kagum bercampur jadi satu. Saya selalu berpikir — ini bukan soal makanannya, tapi soal ketulusan mereka memberi. Mereka tidak memaksa diri untuk menjamu dengan mewah, tapi memberi dengan sepenuh hati. Itu yang membuatnya terasa mahal.
Kami bahkan dibekali makanan untuk di perjalanan pulang. Setelah berpamitan dan berdoa bersama warga, sekitar pukul delapan pagi kami berangkat. Tiga pompong mengantar kami dari Bai’ sampai ke Koccan. Sekitar jam sepuluh lewat kami tiba di Koccan, lalu mulai berjalan kaki menuju Sinindiu, dibantu empat warga lokal yang membantu membawa barang.
Tapi perjalanan kali ini terasa jauh lebih berat. Stamina sudah terkuras, dan rute dari Sinindiu ke Munei terkenal dengan bukit-bukit terjal. Kami harus naik turun beberapa kali, berhenti berkali-kali untuk tarik napas. Biasanya rute ini ditempuh satu jam, tapi kali ini kami butuh hampir tiga jam. Sekitar jam setengah empat sore kami akhirnya tiba di Munei, dan di sana tiga pompong sudah menunggu.
Kami menempuh perjalanan air terakhir menuju Bojakan. Menjelang malam, sekitar jam tujuh, akhirnya kami tiba kembali di Bojakan. Capek? Jelas. Tapi rasa lega dan bangga lebih besar dari semua lelah itu.
Foto: salah satu rumah ternak warga di koccan. Tim istirahat sebentar sebelum lanjut menuju sinindiu.Refleksi: Antara Harapan dan Ketulusan
Keesokan paginya kami evaluasi hasil kegiatan, menyusun laporan, dan tim dari kecamatan kembali ke Sikabaluan. Tapi di kepala saya, perjalanan itu masih terulang-ulang — bukan hanya langkah di bukit dan derasnya arus sungai, tapi wajah-wajah tulus yang kami temui di Lubaga dan Bai’.
Saya lahir di Lubaga, tapi sejak umur tujuh tahun tinggal di Bojakan. Mungkin karena itu, setiap kali ke Lubaga dan Bai’, rasanya seperti pulang — tapi juga seperti belajar lagi tentang hidup. Kehidupan mereka sederhana, alami, dan penuh ketulusan. Tidak ada pura-pura. Mereka memberi dari kekurangan mereka, bukan dari kelebihan seperti kebanyakan kita di luar sana.
Namun di balik semua keindahan itu, saya juga melihat kenyataan pahit: akses sulit, layanan pemerintah terbatas, pembangunan lambat, dan ketimpangan yang nyata. Mereka pasti ingin hidup yang lebih mudah — harga beli dan jual yang adil, pendidikan dan kesehatan yang dekat, dan pembangunan yang terasa nyata.
Kami di desa punya ambisi untuk mengubah itu semua, tapi ya... kami sadar, kemampuan kami terbatas. Kadang saya berpikir, “Kalau saja saya kaya atau pejabat tinggi, mungkin Lubaga dan Bai’ bisa maju sepuluh tahun lebih cepat.” Tapi ya sudahlah… yang bisa kami lakukan sekarang adalah berjuang perlahan, sekuat yang kami bisa, dan berharap ada peran lebih besar dari pemerintah daerah maupun pusat.
Satu hal yang selalu saya doakan:
Jika nanti semua ini berubah — semoga ketulusan, keramahan, dan senyum jujur masyarakat Lubaga dan Bai’ tidak pernah ikut hilang.
๐ถ Bojakan, 20 November 2023
✍️ Catatan perjalanan oleh Yohanes Irman – Kinekre
Komentar
Posting Komentar